
Pada awal Juni 2025, harga Bitcoin bergerak stagnan di kisaran USD 104.000 hingga USD 106.000 (sekitar Rp1,69–1,72 miliar), namun mencatat rekor bertahan di atas USD 100.000 selama 27 hari berturut-turut, periode terpanjang sejak Januari 2025.
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menyatakan pergerakan sideways ini adalah siklus pasar normal, didorong aksi ambil untung oleh investor jangka panjang yang sebelumnya membeli Bitcoin di harga rendah. Meski ada aksi jual, pasar masih kuat karena tidak ada tekanan makroekonomi besar.
Selama Bitcoin bertahan di zona USD 104.000–105.000, kondisi ini dianggap sebagai konsolidasi sehat sebelum mencoba menembus resistance di USD 107.500, yang dapat membuka peluang rekor harga baru.
Pasar juga mendapat dukungan dari arus masuk ETF spot Bitcoin di AS sebesar USD 375,1 juta pada 3 Juni, menghentikan tren keluar selama tiga hari sebelumnya. Namun, sentimen terhadap kebijakan perdagangan mantan Presiden Donald Trump dan ketidakpastian suku bunga The Fed membebani permintaan ETF.
Investor menantikan data inflasi CPI Mei yang akan dirilis 11 Juni. Perkiraan inflasi bulanan sekitar 0,12%–0,23%, tetapi dampak tarif baru diperkirakan baru akan tercermin pada laporan CPI Juni atau Juli.
FOMC dijadwalkan menetapkan suku bunga pada 18 Juni, dengan prediksi suku bunga stabil di 4,25%–4,5%. Kebijakan pemangkasan suku bunga kemungkinan baru dilakukan akhir tahun setelah melihat data ekonomi berikutnya.
Selain Bitcoin, aset kripto lain seperti Ethereum, Solana, dan Tether juga mengalami koreksi kecil. Pasar diperkirakan akan tetap dipengaruhi oleh data ketenagakerjaan AS, terutama laporan Non-Farm Payrolls (NFP), yang berpotensi memicu volatilitas.
Fyqieh menegaskan bahwa tanpa katalis eksternal besar, Bitcoin kemungkinan akan bergerak sideways, tetapi pasar tetap kuat dengan volume transaksi dan antusiasme investor yang tinggi.