
Harga Bitcoin sempat mencetak rekor tertinggi baru di level USD 119.980 atau sekitar Rp 1,95 miliar pada 21 Mei 2025, sebelum terkoreksi ke rentang USD 100.000 hingga USD 108.000 pada pertengahan Juni. Lonjakan harga ini dipicu oleh memanasnya konflik antara Iran dan Israel yang menyebabkan harga minyak dan emas melonjak, sementara indeks dolar AS (DXY) justru melemah ke titik terendah tahun ini.
Menurut analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, pelemahan dolar AS dan ketidakpastian global mendorong investor beralih ke aset alternatif seperti kripto. Meskipun Bitcoin turun 2,8% ke USD 103.000 pada 15 Juni, indeks Fear & Greed masih menunjukkan sentimen pasar yang optimis.
Dari sisi makroekonomi, inflasi AS yang mulai melandai dengan CPI Mei hanya naik 0,1% memperkuat ekspektasi penurunan suku bunga The Fed pada kuartal IV 2025. Kebijakan moneter yang lebih longgar ini biasanya mendorong kenaikan aset berisiko, termasuk Bitcoin.
Aliran dana ke produk investasi kripto juga mencatat rekor, dengan total USD 7,05 miliar masuk pada Mei dan tambahan USD 1,9 miliar hingga pertengahan Juni. Secara teknikal, Bitcoin mencatat all-time high di USD 112.000 pada akhir Mei sebelum koreksi karena aksi ambil untung. Level support saat ini berada di USD 105.500 dan USD 104.670, dengan indikator RSI harian di angka 65 yang menunjukkan potensi konsolidasi atau kelanjutan tren naik.
Sentimen institusional juga terus menguat, terlihat dari arus masuk ratusan juta dolar ke ETF spot Bitcoin di AS. MicroStrategy, melalui Michael Saylor, membeli tambahan 10.100 BTC senilai USD 1 miliar, meningkatkan total kepemilikannya menjadi sekitar 592.100 BTC. Perusahaan Jepang Metaplanet juga menambah kepemilikan menjadi 10.000 BTC melalui penerbitan obligasi tanpa bunga.
Dengan dukungan arus dana institusional dan sentimen makro yang positif, harga Bitcoin diprediksi akan terus didukung untuk bergerak naik ke depan, meski tetap waspada terhadap potensi koreksi jangka pendek.