
Perang antara Israel dan Iran yang telah berlangsung selama enam hari memicu ketidakpastian di pasar, khususnya terkait harga Bitcoin (BTC) yang saat ini masih bertahan di atas US$ 100.000. Namun, analis dari firma perdagangan kripto asal Singapura, QCP Capital, memperingatkan bahwa Bitcoin kini terjebak di antara dua risiko besar: eskalasi konflik dan lonjakan inflasi global.
QCP Capital menyoroti ancaman blokade penuh di Selat Hormuz—jalur vital pengiriman minyak dunia—yang dapat memicu kenaikan harga minyak dan memperparah tekanan inflasi global yang sudah rapuh sejak awal tahun ini. Pernyataan keras dari Presiden Donald Trump dan pengerahan perlengkapan militer besar-besaran AS ke Timur Tengah menambah kekhawatiran pasar.
Data Polymarket menunjukkan probabilitas Amerika Serikat ikut campur dalam perang ini mencapai 60 persen sebelum Juli dan naik hingga 90 persen sebelum Agustus, menandakan intervensi AS hampir dianggap pasti.
Meskipun Bitcoin sering dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap perang dan inflasi, saat ini BTC justru menunjukkan korelasi negatif dengan emas dan korelasi positif tinggi dengan saham teknologi Nasdaq, membuatnya lebih mirip aset berisiko tinggi daripada safe haven.
Sementara minat beli opsi call jangka pendek meningkat, kebutuhan lindung nilai jangka panjang masih ada, terutama menghadapi risiko inflasi dan ketegangan geopolitik yang bisa memaksa The Fed menahan pemangkasan suku bunga di paruh kedua 2025. Hal ini dapat membebani aset berisiko termasuk Bitcoin, jika pasar beralih ke mode risk-off akibat kombinasi perang dan inflasi.