Pendiri Telegram, Pavel Durov, menuduh intelijen Prancis memanfaatkan masalah hukumnya untuk menekan Telegram agar menyensor saluran oposisi menjelang pemilu presiden Moldova 2024.
Dalam pernyataan di X, Durov mengatakan dirinya dihubungi lewat perantara saat ditahan di Paris tahun lalu, dengan permintaan untuk menghapus beberapa kanal sebelum pemilu.
Menurut Durov, meski ada kanal yang dihapus karena melanggar aturan platform, ia mendapat informasi bahwa kerja samanya akan memengaruhi keputusan hakim atas kasus penahanannya.
Ia juga mengklaim daftar kedua yang diajukan berisi kanal yang sepenuhnya patuh aturan, namun dianggap tidak disukai pemerintah Prancis dan Moldova. Telegram, tegasnya, menolak permintaan itu.
Situasi Politik Moldova
Tuduhan ini muncul ketika Partai Aksi dan Solidaritas yang pro-Eropa, didukung Presiden Maia Sandu, memimpin pemilu parlemen dengan lebih dari 50% suara.
Pemilu Moldova sendiri sarat dengan tuduhan intervensi Rusia, sementara oposisi pro-Rusia pimpinan Igor Dodon menyerukan protes di luar parlemen dan bahkan wacana pembatalan hasil pemilu.
Durov menambahkan, pola serupa juga terjadi di negara lain seperti Rumania, di mana otoritas diduga menggunakan tekanan hukum untuk memengaruhi situasi politik.
Pemerintah Prancis sebelumnya membantah tuduhan serupa terkait pemilu Rumania, menyebut klaim Durov tidak berdasar. Namun mereka mengakui ada pertemuan rutin dengan Durov, meski diklaim fokus pada isu keamanan seperti terorisme dan konten ilegal.
Meski membantah tuduhan soal sensor politik, DGSE mengakui bahwa pihaknya memang beberapa kali bertemu Durov dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, pertemuan itu diklaim hanya untuk mengingatkan tentang tanggung jawab Telegram, khususnya dalam menangani ancaman terorisme dan konten berbahaya.
Durov, sebaliknya, menyebut intelijen Prancis lebih menekankan isu geopolitik ketimbang keamanan anak atau konten eksplisit.