Jakarta — Harga Bitcoin (BTC) kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, menembus USD 120.000 pada Oktober 2025, namun data menunjukkan bahwa tingkat keuntungan pasca-halving terus menurun dari waktu ke waktu.
Dikutip dari CoinMarketCap, Senin (6/10/2025), sejak 2012 imbalan blok Bitcoin telah turun 87,5% — dari 25 BTC menjadi 3,125 BTC. Mekanisme halving ini menciptakan kelangkaan yang mendorong kenaikan harga, tetapi skala lonjakannya makin terbatas.
Pada 2017, harga Bitcoin naik 29 kali lipat setelah halving kedua, lalu hanya 6,7 kali lipat pada 2021, dan sekitar 93% pada siklus terbaru di 2025. Pola ini sempat terganggu pada Maret 2024, ketika Bitcoin lebih dulu menembus USD 73.400 sebelum halving keempat berlangsung.
Meski potensi imbal hasil menurun, permintaan institusional terus meningkat. Hingga 3 Oktober 2025, tercatat hampir 200 perusahaan publik menguasai sekitar 1,04 juta BTC (setara 5% dari total pasokan). MicroStrategy masih mendominasi dengan 640.031 BTC, sementara Twenty One — perusahaan yang didukung Tether, Bitfinex, Cantor Fitzgerald, dan SoftBank — telah mengakumulasi 43.514 BTC sejak Mei 2025.
Perusahaan lain seperti KindlyMD, MetaPlanet (Jepang), dan Treasury BV (Eropa) juga memperluas kepemilikan. Treasury BV bahkan mengalokasikan USD 147 juta untuk membeli lebih dari 1.000 BTC.
Dari sisi jaringan, hash rate Bitcoin melonjak 88% dalam setahun terakhir menjadi 1,266 ZH/s, mencerminkan kuatnya partisipasi penambang global. Industri penambangan di Amerika Serikat juga tumbuh pesat dengan masuknya produsen besar seperti Bitmain, Canaan, dan MicroBT, serta ekspansi perusahaan lokal seperti HIVE, Hut 8, dan CleanSpark.
Momentum semakin menarik setelah Eric Trump turut mendirikan American Bitcoin Corp, yang resmi debut di Nasdaq, menandai babak baru bagi adopsi institusional Bitcoin di pasar keuangan global.