Industri kripto terbukti makin berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan pajak dari transaksi aset kripto mencapai Rp1,71 triliun sejak diberlakukannya pajak kripto pada 2022 hingga akhir September 2025.
Angka ini menegaskan posisi kripto sebagai bagian penting dalam ekosistem ekonomi digital Indonesia yang terus tumbuh pesat di bawah pengawasan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
PMK 50/2025: Aturan Baru Pajak Kripto Indonesia
Perubahan besar terjadi pada 1 Agustus 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025.
Aturan ini menetapkan bahwa PPN atas transaksi kripto resmi dihapus, dan sebagai gantinya tarif PPh Pasal 22 dinaikkan menjadi 0,21% dari sebelumnya 0,1%.
Kebijakan ini berlaku bagi penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan (exchange), hingga penambang aset kripto. Penerapan tarif baru ini akan berlaku penuh mulai tahun pajak 2026.
Perubahan ini merupakan bagian dari transisi besar di sektor aset digital, sejalan dengan peralihan kewenangan pengawasan dari Bappebti ke OJK sejak Januari 2025.
Artinya, kripto kini dikategorikan sebagai instrumen keuangan digital, bukan lagi komoditas yang diawasi perdagangan berjangka.
Ekonomi Digital Jadi Pendorong Pajak Nasional
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyebut sektor digital kini menjadi motor utama penerimaan pajak negara.
Ia mengungkapkan, hingga akhir September 2025, total pajak dari sektor ekonomi digital mencapai Rp42,53 triliun, terdiri dari:
PPN PMSE: Rp32,94 triliun
Pajak fintech P2P lending: Rp4,1 triliun
Pajak kripto: Rp1,71 triliun
Pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP): Rp3,78 triliun
Rosmauli menegaskan bahwa pemerintah terus memperkuat sistem perpajakan yang adaptif dan efisien terhadap perkembangan ekonomi digital.
Tujuannya agar sistem pajak tetap relevan dengan kemajuan teknologi finansial global, termasuk kripto, fintech, dan perdagangan elektronik.