Malaysia menghadapi krisis besar terkait maraknya penambangan kripto ilegal yang menyebabkan kerugian energi hingga USD 1,1 miliar atau sekitar Rp 18,41 triliun. Kerugian tersebut berasal dari aksi pencurian listrik masif yang dilakukan ribuan fasilitas penambangan tanpa izin.
Menurut laporan Tenaga Nasional Berhad (TNB), pola pencurian listrik ini berlangsung sejak 2020 hingga Agustus tahun ini. Hasil penelusuran menemukan hampir 14.000 lokasi penambangan ilegal tersebar di seluruh negeri. Para pelaku memakai berbagai modus, mulai dari memodifikasi meteran listrik hingga menyambung langsung ke jaringan tanpa pengukuran resmi. Banyak pula yang menyamarkan operasinya sebagai rumah tinggal atau ruko.
Konsumsi energi penambangan kripto yang sangat tinggi menjadi alasan utama pelaku memilih mencuri listrik. Satu transaksi blockchain bisa menghabiskan daya setara pemakaian listrik rumah tangga selama berminggu-minggu.
Untuk menekan kerugian, pemerintah Malaysia membentuk satuan tugas khusus yang melibatkan TNB, kepolisian, regulator telekomunikasi, dan lembaga antikorupsi. Serangkaian penggerebekan berhasil menyita ribuan perangkat, menangkap pelaku, serta mengungkap metode kriminal yang semakin canggih. Pemerintah juga mulai menerapkan teknologi pemantauan baru guna memperkuat sistem pengawasan.
Fenomena ini menjadi sorotan bagi pelaku industri kripto legal. Penambangan ilegal bukan hanya merugikan negara, tetapi juga mencoreng reputasi industri dan meningkatkan dampak lingkungan akibat penggunaan perangkat lama yang boros energi. Kasus Malaysia diperkirakan mendorong regulasi kripto yang lebih ketat secara global, termasuk peningkatan pelaporan penggunaan energi dan kerja sama lintas negara.