Pasar kripto kerap dipahami melalui narasi. Perkembangan politik, kebijakan regulator, adopsi institusional, hingga ekspektasi siklus sering menjadi penjelasan utama di balik pergerakan harga, terutama saat volatilitas meningkat. Namun dalam setahun terakhir, data menunjukkan bahwa keberlanjutan tren harga jauh lebih ditentukan oleh arus modal, kondisi likuiditas, dan perilaku on-chain dibandingkan oleh tajuk utama semata.
Reli berbasis narasi memang dapat memicu pergerakan cepat, tetapi cenderung rapuh. Peristiwa politik, khususnya yang dipersepsikan pro-kripto, terbukti mampu mempercepat repricing. Siklus pemilu Amerika pada 2024 menjadi contoh yang jelas. Sepanjang Maret hingga Oktober 2024, Bitcoin bergerak datar di kisaran US$ 50.000 – US$ 74.000, meskipun diwarnai berbagai berita positif. Rezim tersebut berubah pada kuartal keempat, ketika potensi kemenangan Donald Trump diperhitungkan pasar.
Menjelang hasil pemilu 4 November, Bitcoin sempat terkoreksi sekitar 8 persen akibat de-risking pra-acara. Setelah hasilnya dikonfirmasi, harga melonjak sekitar 56 persen dalam 42 hari, menembus US$ 100.000. Lonjakan ini beriringan dengan ekspansi besar pada posisi derivatif, di mana open interest hampir berlipat ganda di kuartal keempat setelah relatif tertahan sepanjang tahun.
Namun, kelanjutan tren tersebut terbukti terbatas. Meski mencetak level tertinggi baru, Bitcoin kesulitan mempertahankan momentum. Permintaan spot tidak meningkat sejalan dengan pertumbuhan leverage, membuat pasar rentan ketika posisi menjadi terlalu padat. Pelajaran utamanya bukan bahwa narasi tidak penting, melainkan bahwa narasi lebih memengaruhi posisi spekulatif daripada komitmen modal nyata.
Salah satu pengecualian muncul pada ETF Spot Bitcoin. Di sini, narasi adopsi institusional didukung oleh data konkret. ETF Spot Bitcoin di Amerika mencatat arus masuk bersih sekitar US$ 35 miliar sepanjang 2024, diikuti sekitar US$ 22 miliar pada 2025. Harga Bitcoin bergerak seiring dengan arus ini.
Pada kuartal pertama 2024, lebih dari US$ 13 miliar inflow bertepatan dengan reli dari US$ 42.000 ke US$ 73.000. Ketika inflow melambat seperti kuartal pertama, Bitcoin kembali berkonsolidasi hingga Oktober. Hubungan tersebut kembali terlihat pada akhir 2024, ketika hampir US$ 22 miliar inflow dari Oktober hingga Januari mendorong harga dari US$ 70.000 ke US$ 102.000.
Sebaliknya, saat terjadi koreksi, arus ETF sesekali berbalik negatif, menegaskan bahwa produk ini bukan pembeli terakhir di pasar. ETF berperan penting karena menerjemahkan narasi menjadi permintaan terukur, tetapi hanya selama arus masuknya konsisten. Ketika aliran dana melemah, momentum harga ikut memudar.
Di atas semua itu, likuiditas tetap menjadi variabel dominan. Arus masuk stablecoin ke bursa berfungsi sebagai proksi modal siap pakai. Ketika inflow menyusut, reli menjadi rapuh. Dari puncak terbaru, inflow stablecoin tercatat turun sekitar 50 persen.
Dalam lingkungan likuiditas rendah, reli berbasis narasi cenderung cepat memudar. Harga masih dapat bergerak karena posisi dan sentimen, tetapi tanpa modal baru, breakout sulit berlanjut dan koreksi menjadi lebih mungkin.
Tekanan ini diperkuat oleh dinamika alokasi yang lebih luas dan suplai on-chain. Salah satu laporan terbaru menyatakan bahwa rasio Bitcoin terhadap emas turun dari sekitar 40 ons emas per BTC pada Desember 2024 menjadi sekitar 20 ons pada kuartal keempat 2025. Pergeseran ini mencerminkan rotasi ke aset defensif di tengah real yield yang tinggi, mencapai sekitar 1,8 persen pada kuartal kedua, sekaligus menyoroti decoupling emas dari dinamika imbal hasil tradisional.
Pada saat yang sama, data on-chain menunjukkan distribusi berkelanjutan. Berdasarkan data dari Glassnode, pemegang jangka panjang merealisasikan keuntungan lebih dari US$ 1 miliar per hari dalam rata-rata tujuh hari selama Juli, salah satu fase ambil untung terbesar yang pernah tercatat.
Kombinasi real yield yang tinggi, korelasi dengan ekuitas dan tekanan jual dari pemegang lama meningkatkan opportunity cost Bitcoin dan membatasi ekspansi harga pada paruh kedua 2025.