Nama Michael Saylor kini identik dengan Bitcoin institusional. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di awal perjalanan kripto, Saylor justru salah satu skeptis terbesar terhadap aset digital ini.
Dari menyebut Bitcoin akan “berakhir seperti situs judi online” pada 2013, kini ia justru memimpin perusahaan dengan kepemilikan Bitcoin terbesar di dunia. Transformasi ini bukan hanya soal strategi investasi, tapi juga simbol perubahan cara pandang dunia korporasi terhadap kripto.
Dari Skeptis Jadi Evangelis Bitcoin
Pada 2013, Saylor — CEO MicroStrategy, perusahaan analitik yang ia dirikan sejak 1989 — menyebut Bitcoin sebagai tren sementara. Kala itu, volatilitas tinggi dan minimnya regulasi membuat banyak eksekutif teknologi meragukan masa depan kripto.
Namun, tujuh tahun kemudian, pandemi COVID-19 menjadi titik balik. Saat bank sentral mencetak triliunan dolar untuk stimulus, Saylor mulai menyadari risiko inflasi terhadap kas perusahaan.
Ia menyebut uang fiat sebagai “es yang perlahan mencair”, dan mulai mencari aset yang lebih tahan terhadap pelemahan nilai mata uang.
Pilihannya jatuh pada Bitcoin — aset dengan suplai tetap 21 juta koin dan jaringan yang terdesentralisasi.
Baca artikel terkait: Michael Saylor Stop Beli Bitcoin, Asetnya Sudah Capai 3% Dunia!
MicroStrategy Mulai Masuk Bitcoin (2020)
Pada Agustus 2020, MicroStrategy resmi membeli 21.454 BTC senilai $250 juta, langkah berani yang langsung mengguncang pasar keuangan global. Dalam beberapa bulan berikutnya, pembelian terus berlanjut hingga total 70.470 BTC di tahun yang sama.
Saylor menjelaskan langkah itu sebagai “strategi lindung nilai terhadap inflasi”, dan menyebut Bitcoin sebagai store of value terbaik di era digital.