
Harga Bitcoin kembali menguat tajam dan nyaris mencetak rekor baru, diperdagangkan di kisaran USD 107.000, mendekati level tertinggi sepanjang masa sebesar USD 109.000 yang tercapai pada Januari lalu.
Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menjelaskan bahwa lonjakan harga ini didorong oleh masuknya dana institusional dan ekspektasi pelonggaran suku bunga oleh The Fed. “Investasi dari institusi besar seperti aset manajer global memperkuat posisi Bitcoin dan memberi sinyal positif bagi pelaku pasar ritel,” ungkapnya.
Data dari Coinglass dan The Block mengindikasikan tren positif ETF Bitcoin spot, dengan hanya dua hari mencatat arus keluar dana sepanjang Mei ini. Sementara itu, data inflasi AS yang lebih rendah dari ekspektasi turut memicu harapan penurunan suku bunga, yang berpotensi melemahkan dolar AS dan mendorong investor ke aset lindung nilai seperti Bitcoin, Ethereum, dan emas.
Indikator pasar seperti Realized Capitalization dan MVRV ratio menunjukkan adanya akumulasi besar oleh investor, menandakan tingginya kepercayaan terhadap aset kripto ini. Data dari Glassnode mengungkap banyak investor masih memegang Bitcoin yang dibeli di harga tinggi.
“Jika Bitcoin mampu bertahan di atas USD 105.000, potensi breakout menuju USD 110.000 hingga USD 120.000 semakin terbuka,” kata Fahmi. Bahkan, lembaga keuangan global seperti JP Morgan dan Standard Chartered memprediksi harga Bitcoin bisa mencapai USD 120.000 pada akhir kuartal kedua 2025, jika sentimen tetap positif.
Namun, investor tetap diminta waspada. Indikator RSI menunjukkan pasar mulai memasuki zona overbought, membuka kemungkinan koreksi jangka pendek. Oleh karena itu, strategi Dollar Cost Averaging (DCA) disarankan bagi investor pemula untuk mengurangi risiko dan meratakan harga beli.
“Dengan DCA, portofolio investor lebih siap menghadapi fluktuasi pasar dan merealisasikan keuntungan dari akumulasi yang telah dilakukan,” tutup Fahmi.