Bitcoin (BTC) mencetak rekor harga baru di tengah ketidakpastian makro global yang makin dalam. Melansir dari cointelegraph.com, yield obligasi melonjak di Amerika Serikat dan Jepang. Pertumbuhan ekonomi melambat, dan kepercayaan konsumen Amerika mendekati titik terendah historis. Namun alih-alih terguncang, Bitcoin justru menguat.
Yield obligasi 30 tahun Amerika menyentuh US$ 5,15 pada 22 Mei, tertinggi sejak Oktober 2023 dan sebelumnya, Juli 2007. Kenaikan yield mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap inflasi, suku bunga tinggi berkepanjangan dan kemampuan pemerintah Amerika untuk membayar utang yang kini telah melewati US$ 36,8 triliun.
Biaya bunga tahunan diperkirakan menembus US$ 952 miliar pada 2025. Sementara Presiden Amerika, Donald Trump menyatakan ingin menurunkan yield, dua solusi utama yakni pemangkasan suku bunga dan quantitative easing (QE), hanya bisa dilakukan oleh The Fed, yang kini enggan melonggarkan kebijakan moneter karena resiko inflasi baru akibat perang tarif.
Bitcoin Mulai Dilirik Jadi Aset Perlindungan
Secara tradisional, naiknya yield akan menekan aset beresiko. Namun, kali ini berbeda. Saham dan Bitcoin justru naik. Investor institusional tampaknya mulai mengabaikan playbook lama. Menurut data BofA, hanya net 38 persen investor institusi yang overweight saham Amerika, level terendah sejak Mei 2023.
Sementara itu, total dana kelolaan ETF Bitcoin Spot kini melampaui US$ 104 miliar, menurut CoinGlass, angka tertinggi sepanjang sejarah. Arus masuk ini mencerminkan tumbuhnya kepercayaan institusi terhadap Bitcoin, bukan hanya sebagai aset berkinerja tinggi, tapi juga sebagai store of value netral secara politik.
Bitcoin kini memainkan dua peran yang dulu dianggap bertolak belakang sebagai aset beresiko dengan potensi tinggi, dan safe haven saat sistem konvensional kehilangan kredibilitas. Di era baru ketidakpastian dan inflasi utang, mungkin justru itulah yang dibutuhkan.