Pasar aset kripto tengah menghadapi tekanan hebat setelah Bitcoin (BTC), aset kripto terbesar di dunia, mencatat penurunan signifikan ke kisaran US$103.000, dipicu eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Berdasarkan data CoinMarketCap pada Jumat (13/6/2025) pagi, harga BTC terus melanjutkan penurunan dari level US$108.500 menuju titik terendah harian di US$102.822, level terendah sejak awal Juni. Hingga artikel ini ditulis, BTC sempat rebound ke kisaran US$103.500, namun masih mencatat koreksi sekitar 4% dalam 24 jam terakhir.
Gejolak ini tidak hanya menekan Bitcoin, melainkan juga menyeret aset kripto utama lain. Ether (ETH) terkoreksi lebih dari 10%, merosot dari US$2.700 ke US$2.400. Sementara itu, XRP dan Solana (SOL) masing-masing mencatat penurunan tajam sebesar 6% dan 11% dalam periode yang sama.
Tekanan juga terasa pada deretan meme coin populer. Dogecoin (DOGE), Shiba Inu (SHIB), dan Pepe (PEPE) mencatat penurunan antara 10% hingga 14%.
Secara keseluruhan, kapitalisasi pasar aset kripto global terkikis hingga 6% dalam 24 jam terakhir, turun ke kisaran US$3,21 triliun atau setara Rp52.300 triliun.
Likuidasi Besar-besaran
Lebih lanjut, data CoinGlass menunjukkan gelombang likuidasi besar-besaran melanda pasar derivatif kripto, dengan total likuidasi mencapai US$1,16 miliar atau sekitar Rp19 triliun dalam 24 jam terakhir. Sebagian besar kerugian dialami oleh trader yang memasang posisi long, mengantisipasi harga Bitcoin akan naik. Trader long tercatat merugi hingga US$1,07 miliar atau sekitar Rp17 triliun.
Bitcoin menjadi aset dengan likuidasi terbesar di pasar. Posisi long BTC mengalami kerugian total sebesar US$441 juta, sementara long ETH terlikuidasi sebesar US$247 juta.
Ketegangan Timur Tengah Jadi Pemicu Utama
Lonjakan volatilitas di pasar dipicu laporan awal dari Axios yang mengungkapkan bahwa Israel melancarkan operasi militer di wilayah udara Iran, mengutip sumber anonim. Al-Jazeera kemudian mengonfirmasi adanya ledakan yang terdengar di ibu kota Teheran.
Militer Israel menyatakan bahwa serangan tersebut menargetkan infrastruktur militer Iran di sekitar Teheran dan Tabriz. Serangan ini disebut sebagai “respons pre-emptive” terhadap meningkatnya ancaman dari Iran.
Dalam konferensi pers, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut ambisi nuklir Iran sebagai “bahaya nyata dan langsung”. Ia menegaskan bahwa respons militer Israel “akan terus berlanjut selama diperlukan untuk menyingkirkan ancaman tersebut”.
Ketegangan ini semakin memuncak setelah laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang menyatakan bahwa Iran tidak lagi mematuhi pembatasan pengayaan uranium, untuk pertama kalinya dalam dua dekade.