Laporan terbaru yang dirilis CoinDesk bersama Protocol Theory mengungkap temuan besar: hampir 1 dari 4 orang Asia Pasifik yang memiliki akses internet ternyata sudah memiliki aset kripto.
Data ini diambil dari survei terhadap 4.020 responden di 10 negara, lalu diekstrapolasi untuk memperkirakan tren di seluruh wilayah APAC.
Temuan ini menegaskan bahwa Asia menjadi salah satu pusat adopsi kripto terbesar, didorong oleh kebutuhan finansial, penetrasi internet tinggi, dan perkembangan regulasi di kawasan.
APAC Jadi Mesin Adopsi Kripto Global
Menurut laporan tersebut, adopsi kripto melonjak terutama di pasar berkembang seperti India, Filipina, Thailand, dan Tiongkok. Negara-negara ini menghadapi keterbatasan akses ke layanan keuangan tradisional sehingga masyarakat beralih pada solusi digital seperti stablecoin dan aset kripto.
Sebanyak 18% pengguna internet di negara berkembang APAC tercatat sudah memakai stablecoin, terutama untuk remitansi dan penyimpanan nilai yang lebih stabil.
Laporan juga menekankan bahwa adopsi saat ini tidak lagi digerakkan spekulasi semata, melainkan kebutuhan praktis seperti pembayaran lintas negara, simpanan digital, dan tokenisasi aset.
Regulasi Jadi Penentu Laju Pertumbuhan
Survei ini juga menunjukkan lebih dari 70% pengguna di negara berkembang menganggap regulasi kripto sangat penting. Bagi mereka, regulasi berfungsi sebagai pengganti kepercayaan institusional dan penanda bahwa penggunaan kripto dianggap sah.
Sebaliknya, negara maju seperti Australia, Hong Kong, dan Singapura menunjukkan tingkat urgensi regulasi yang lebih rendah, mencerminkan infrastruktur finansial yang sudah matang.
Perbedaan prioritas ini menggambarkan bahwa adopsi kripto di Asia berkembang lewat dua jalur: kebutuhan finansial di negara berkembang dan inovasi ekonomi digital di negara maju.
Adopsi Tetap Lambat Karena Kemudahan Akses Masih Rendah
Meskipun kepemilikan kripto tinggi, laporan mencatat bahwa adopsi melambat dalam satu tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah kompleksitas penggunaan, mulai dari wallet yang membingungkan, proses KYC, hingga transfer token yang tidak intuitif bagi pemula.
Sebagian besar layanan keuangan tradisional di Asia justru sudah sangat mudah digunakan, sehingga hambatan teknis pada kripto membuat sebagian masyarakat enggan beralih.
Namun, kondisi ini dapat berubah cepat jika platform crypto berhasil menyederhanakan pengalaman pengguna melalui integrasi pembayaran, UX yang lebih simpel, dan regulasi yang jelas.