Penurunan margin dan lonjakan biaya membuat bisnis mining Bitcoin (BTC) kian tertekan.
Sejumlah perusahaan miner kini mulai meninggalkan model mining murni dan beralih ke bisnis data center AI sebagai strategi bertahan, menurut laporan terbaru Tiger Research.
Biaya Naik, Pendapatan Tak Pasti
Tekanan utama datang dari struktur bisnis mining yang sederhana namun rapuh. Pendapatan miner sepenuhnya bergantung pada harga Bitcoin yang fluktuatif, sementara biaya cenderung naik dari waktu ke waktu.
Tiger Research mencatat, biaya rata-rata menambang satu Bitcoin kini sekitar US$74.600, naik hampir 30% dibanding tahun sebelumnya.
Jika memperhitungkan depresiasi aset dan kompensasi berbasis saham, total biaya produksi bisa mencapai US$130.000 per Bitcoin.
Dengan harga Bitcoin di kisaran US$91.000, banyak perusahaan miner secara akuntansi mencatat kerugian sekitar US$46.000 untuk setiap BTC yang ditambang.
Kondisi ini menciptakan tekanan ganda, pendapatan turun cepat saat harga melemah, sementara biaya operasional terus meningkat.
Situasi tersebut diperburuk oleh kenaikan mining difficulty, harga listrik yang makin mahal, serta kebutuhan penggantian perangkat keras secara berkala.
Di beberapa wilayah, risiko regulasi juga mulai meningkat, termasuk wacana pajak tambahan bagi perusahaan mining.
Model Mining Makin Rapuh
Dibandingkan beberapa tahun lalu, struktur ekonomi mining kini jauh lebih rentan.
Mining difficulty pada 2025 berada di level yang jauh lebih tinggi dibanding 2022, sementara regulasi energi di berbagai negara semakin ketat.
Kondisi tersebut menurunkan visibilitas biaya dan membuat perencanaan bisnis jangka panjang semakin sulit.
Dalam situasi seperti ini, mining Bitcoin tidak lagi mudah dipertahankan sebagai satu-satunya bisnis inti bagi banyak perusahaan.
AI Data Center Jadi Jalan Keluar
Di tengah tekanan tersebut, perusahaan miner melihat peluang dari sisi lain industri teknologi.
Permintaan data center untuk kebutuhan kecerdasan buatan (AI) meningkat tajam, sementara pembangunan fasilitas baru membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Miner Bitcoin berada pada posisi unik untuk mengisi celah ini. Mereka telah memiliki:
- Akses listrik skala besar, hingga ratusan megawatt
- Sistem pendingin berkapasitas tinggi, hasil pengalaman mengelola perangkat mining
- Infrastruktur komputasi, yang relatif mudah disesuaikan untuk kebutuhan AI
Menurut Tiger Research, banyak lokasi mining dapat dikonversi menjadi AI-ready data center dalam waktu enam hingga dua belas bulan, jauh lebih cepat dibanding membangun fasilitas dari nol.
Studi Kasus: Core Scientific
Perubahan strategi ini sudah terlihat dalam praktik. Core Scientific, salah satu perusahaan mining besar, sempat berada di ambang kebangkrutan pada 2022. Perusahaan tersebut kemudian memutar arah bisnis ke operasi data center AI.
Saat ini, Core Scientific mengoperasikan sekitar 200 MW kapasitas dan menargetkan ekspansi hingga 500 MW.
Transformasi ini menunjukkan bagaimana pemanfaatan ulang infrastruktur mining dapat menciptakan sumber pendapatan yang lebih stabil.
Langkah serupa juga mulai ditempuh perusahaan lain seperti IREN dan TeraWulf, yang mengembangkan model bisnis di luar mining murni, meski belum sepenuhnya beralih menjadi penyedia data center AI.
Dampak ke Industri Kripto
Tiger Research menilai pergeseran ini bukan sinyal negatif bagi ekosistem kripto. Sebaliknya, diversifikasi pendapatan membuat perusahaan miner memiliki arus kas yang lebih stabil.
Dengan pendapatan non-mining, perusahaan tidak lagi terpaksa menjual Bitcoin saat harga tidak ideal. Tekanan jual dari sisi miner pun berpotensi menurun.
Dalam jangka panjang, pemain yang tidak efisien akan tersingkir atau bertransformasi, sementara perusahaan yang bertahan menjadi lebih adaptif.
Perubahan ini mencerminkan fase pendewasaan industri. Mining Bitcoin tidak menghilang, tetapi berevolusi mengikuti dinamika biaya, teknologi, dan kebutuhan pasar.