Jakarta – Meski pemerintah China bertahun-tahun menegakkan kontrol modal yang ketat serta melarang penggunaan kripto, para pelaku kejahatan di negara tersebut justru semakin memanfaatkan aset digital seperti Bitcoin dan stablecoin USDT untuk mencuci uang dan memindahkan kekayaan ke luar negeri.
Menurut laporan Kathryn Westmore dari Centre for Finance and Security, Royal Services Institute, jaringan pencuci uang China kini menggabungkan kripto sebagai bagian utama operasi mereka. Aset digital diberikan kepada penjahat sebagai imbalan uang tunai, lalu digunakan untuk mentransfer dana melewati batasan pemerintah.
Data Chainalysis menunjukkan kejahatan kripto melonjak pada 2025, dengan kerugian investor lebih dari USD 2,3 miliar. Penipuan “pig-butchering’’ juga meningkat dengan nilai kerugian mencapai USD 4 miliar di 2024. Selain itu, kelompok pencucian uang China disebut menjadi penyedia layanan utama bagi kejahatan terorganisir Barat, termasuk jaringan perdagangan fentanil. Banyak pemasok bahan kimia fentanyl di China bahkan menerima pembayaran dalam Bitcoin dan USDT.
Laporan blockchain Elliptic turut menemukan transaksi on-chain menuju sejumlah bisnis Tiongkok yang terkait perdagangan tersebut. Europol sendiri menyebut meningkatnya kejahatan kripto kini menambah beban berat bagi penegak hukum internasional.
Sementara itu, Amerika Serikat justru mengambil arah berbeda. Pemerintahan Presiden Donald Trump tercatat telah memiliki aset kripto lebih dari USD 20,56 miliar hingga 10 November 2025. Kepemilikan tersebut berasal dari program Strategic Bitcoin Reserve dan U.S. Digital Asset Stockpile, yang memungkinkan pemerintah menyimpan aset hasil sitaan alih-alih melelangnya.
Kebijakan baru yang dipimpin Menteri Keuangan Scott Bessent dan didukung GENIUS Act ini bertujuan memperkuat posisi AS sebagai pemimpin pasar aset digital global. Strategi tersebut diperkirakan dapat mempengaruhi suplai Bitcoin di pasar terbuka serta berpotensi mendorong harga ke level lebih tinggi.