Senator AS Cynthia Lummis menyesalkan kebijakan yang dibuat oleh JPMorgan, menuding bank raksasa itu menjalankan kebijakan yang merugikan sektor kripto.
Ia menyebut praktik tersebut dapat mengguncang kepercayaan publik terhadap perbankan tradisional dan mendorong perusahaan aset digital pindah ke luar negeri.
Lummis Singgung “Chokepoint 2.0”, Apa Maksudnya?
Komentar itu muncul setelah laporan bahwa CEO Strike, Jack Mallers, ditolak akses ke layanan finansial konvensional. Lummis menilai kasus tersebut menjadi bukti bahwa “Chokepoint 2.0” bukan teori, tapi mulai terjadi dalam bentuk pengetatan akses bank terhadap entitas kripto.
Istilah “Chokepoint 2.0” mengacu pada dugaan bahwa regulator atau bank AS membatasi layanan perbankan bagi bisnis aset digital, serupa dengan Operation Chokepoint satu dekade lalu yang menyingkirkan industri tertentu dengan memutus akses ke bank.
Industri Kripto Tuntut Akses yang Setara
Menurut Lummis, pola pembatasan layanan ini akan melemahkan daya saing ekonomi AS karena talenta dan inovasi berpotensi pindah ke negara yang lebih ramah kripto.
Ia menegaskan bahwa pendekatan seperti ini tidak hanya merugikan perusahaan aset digital, tetapi juga menghambat perkembangan teknologi finansial.
Pelaku industri telah lama mengeluhkan sulitnya mendapatkan rekening bank atau layanan pembayaran dasar. Banyak startup dan exchange bahkan sudah mulai relokasi ke negara yang memberi kepastian regulasi lebih jelas.
Risiko AS Kehilangan Inovasi Jika Tren Berlanjut
Kurangnya kejelasan regulasi di AS membuat perusahaan kripto bertahan dalam ketidakpastian. Lummis memperingatkan bahwa tanpa perubahan kebijakan, gelombang perpindahan perusahaan kripto ke luar negeri akan semakin besar.
Ia menyerukan agar pembuat kebijakan memastikan akses yang adil ke sistem perbankan bagi pelaku industri kripto. Jika tidak, AS berisiko kehilangan posisi sebagai pusat inovasi digital yang selama ini menjadi kekuatannya.