Jakarta – Bitcoin kembali menguat di atas USD 90.000 pada Rabu (26/11/2025), naik 3,99% dalam 24 jam terakhir. Berdasarkan data CoinMarketCap, harga BTC berada di level USD 91.388,98 atau sekitar Rp 1,52 miliar, meski secara mingguan masih turun 0,46%.
Kenaikan Bitcoin terjadi di tengah reli empat hari berturut-turut indeks S&P 500 dan Nasdaq, dipicu ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada Desember 2025. Namun sejumlah analis menilai penguatan ini belum menandakan pemulihan signifikan.
Ekonom Apollo Management, Torsten Slok, menyebut korelasi Bitcoin dan Nasdaq melemah dalam beberapa minggu terakhir karena penurunan harga BTC yang lebih tajam. Bitcoin masih berada 28% di bawah rekor tertingginya pada Oktober yang melampaui USD 126.000.
Analis dari 10X Research menilai reli kuartal keempat sering terjadi, tetapi jarang tanpa katalis kuat. Mereka menekankan bahwa harga Bitcoin sangat bergantung pada komunikasi The Fed, bukan sekadar keputusan pemotongan suku bunga. Bahkan, pemotongan 25 bps pada Desember tidak otomatis dianggap bullish.
Selain itu, ekspektasi bahwa peningkatan belanja dari Treasury General Account (TGA) akan mendorong pasar juga dipertanyakan. Data menunjukkan bahwa saat TGA terakhir merilis USD 522 miliar, Bitcoin justru turun 15% sebelum pulih dua bulan kemudian.
Analis Compass Point, Ed Engel, memperingatkan potensi tekanan jual lebih lanjut. Ia memprediksi BTC dapat menguji kembali level USD 82.000 bahkan menembus USD 80.000. Meski melihat support kuat di kisaran USD 65.000–70.000, Engel menilai pasar masih berisiko bearish dan menunggu tanda akumulasi dari HODLers sebelum melihat tren positif.
Para analis sepakat bahwa volatilitas Bitcoin kemungkinan masih berlanjut hingga awal 2026.