Harga Bitcoin (BTC) masih berada dalam tekanan meski arus pembelian dari institusi besar terus berlangsung.
Dalam sembilan hari terakhir, Bitcoin tercatat turun sekitar 10% dan bergerak melemah secara bertahap, bukan jatuh tajam dalam satu momen.
Saat ini, BTC diperdagangkan di kisaran US$87.000, di tengah derasnya sorotan terhadap masuknya dana institusional ke pasar kripto.
Menurut analisis Bull Theory yang dikutip CaptainAltcoin, pelemahan ini tidak mencerminkan kerusakan fundamental Bitcoin.
Tekanan harga justru dipicu oleh masuknya suplai besar ke pasar akibat faktor struktural, terutama dari kawasan Asia.
Tekanan Mining China Mulai Terasa di Pasar
Salah satu pemicu utama tekanan jual datang dari kebijakan China yang kembali memperketat aktivitas penambangan Bitcoin.
Dampaknya langsung terlihat di jaringan, dengan hash rate Bitcoin turun sekitar 8%. Meski tidak lagi mendominasi seperti pada 2021, China masih menguasai sekitar 14% hash power global, sehingga setiap perubahan kebijakan di wilayah ini tetap berdampak signifikan.
Penurunan hash rate memaksa sebagian miner menghentikan operasional. Ketika mesin dimatikan dan pendapatan terhenti, tekanan finansial meningkat.
Dalam kondisi seperti ini, Bitcoin yang disimpan sebagai cadangan menjadi sumber likuiditas utama dan akhirnya dilepas ke pasar.
Pergerakan harga Bitcoin kerap mencerminkan tekanan semacam ini lebih awal, bahkan sebelum isu tersebut ramai diberitakan.
Institusi Membeli, Tapi Tidak Menahan Harga
Di sisi lain, pembelian Bitcoin oleh institusi terus menjadi sorotan. Namun, masuknya dana besar tidak selalu berarti harga akan langsung menguat.
Bull Theory menilai kondisi ini mencerminkan adanya forced selling, bukan aksi jual karena kepanikan pasar.
Institusi umumnya membeli secara bertahap dan terukur. Sementara itu, pihak yang menjual berada dalam posisi tertekan secara operasional.
Selama suplai yang masuk ke pasar lebih besar daripada permintaan, harga Bitcoin tetap sulit bangkit meski minat beli terlihat kuat.
Whale Asia Diduga Sudah Antisipasi Sejak Awal
Tekanan jual juga diduga berasal dari holder Bitcoin jangka panjang di Asia. Banyak pemilik awal Bitcoin berbasis di wilayah ini, terutama China, yang memiliki sejarah panjang dalam aktivitas mining dan akumulasi aset digital.
Data on-chain menunjukkan adanya peningkatan aktivitas jual dari long-term holder dalam satu hingga dua bulan terakhir.
Polanya cenderung rapi dan bertahap, selaras dengan penurunan harga Bitcoin yang terjadi secara perlahan. Ini lebih menyerupai distribusi terencana dibanding aksi panic sell.
Kapitulasi Miner Memperkuat Arus Suplai
Ketika mining berhenti, dampaknya tidak hanya pada hash rate. Rantai tekanan berlanjut ke sisi keuangan.
Pendapatan hilang, biaya tetap berjalan, dan ketidakpastian meningkat. Dalam kondisi seperti ini, menjual Bitcoin menjadi langkah yang sulit dihindari.
Penjualan dari miner bersifat konsisten dan tidak bergantung pada level harga. Inilah yang membuat harga Bitcoin bisa tetap tertekan meski tidak ada sentimen negatif besar di pasar.
Data Exchange Ungkap Sumber Tekanan Jual
Perbedaan arus transaksi antar wilayah memperjelas gambaran pasar. Exchange Asia seperti Binance, OKX, dan Bybit menunjukkan net spot selling yang konsisten sepanjang kuartal keempat.
Sebaliknya, Coinbase yang merepresentasikan aliran dana berbasis Amerika Serikat masih mencatat net buying.
Kondisi ini menegaskan bahwa tekanan jual saat ini lebih banyak berasal dari Asia, wilayah dengan likuiditas tinggi dan volume perdagangan besar.
Sementara itu, arus keluar ETF di Amerika Serikat memang ada, namun dinilai bukan faktor utama di balik pelemahan harga Bitcoin belakangan ini.