
Negara-negara Asia Tenggara tengah gencar mengembangkan blockchain lokal (local chains) yang disesuaikan dengan regulasi, budaya, dan kebutuhan ekonomi masing-masing negara. Berbeda dengan blockchain global seperti Ethereum dan Solana, blockchain lokal dirancang khusus agar lebih cocok dengan sistem hukum, kebijakan KYC/AML, serta integrasi ke perbankan dan pembayaran domestik.
Menurut laporan Tiger Research, terdapat tiga tipe local chain di kawasan ini: government-backed, corporate-led, dan dependent chains. Kamboja menjadi contoh government-backed dengan blockchain Bakong yang didukung oleh bank sentral dan sudah mencatat transaksi senilai $105 miliar. Thailand mengusung model corporate-led lewat Bitkub Chain yang dikembangkan oleh perusahaan swasta dan sudah melayani 2 juta pengguna aktif. Sementara Filipina masih mengandalkan blockchain global tanpa membangun Layer-1 sendiri.
Vietnam menggabungkan pendekatan korporasi dan kebijakan nasional melalui proyek 1Matrix, fokus pada transformasi digital dan kedaulatan data, mendukung program “Make in Vietnam”.
Indonesia mulai menunjukkan perkembangan lewat inisiatif startup, meski belum ada dukungan kebijakan pemerintah. Proyek seperti Vexanium dan Mandala Chain sudah memperlihatkan potensi besar dalam mendukung UMKM, identitas digital, supply chain, dan layanan kesehatan dengan solusi blockchain lokal.
Secara umum, blockchain lokal dianggap lebih efektif dalam mendukung regulasi dan integrasi sektor publik dibandingkan blockchain global yang kurang fleksibel terhadap konteks domestik. Tren ini menunjukkan bahwa setiap negara ASEAN mengadopsi strategi unik dalam membangun infrastruktur blockchain sesuai kebutuhan nasional masing-masing.